Jakarta, wapresri.go.id – Di era keterbukaan seperti sekarang ini, kepolisian harus mampu mendorong masyarakat untuk ikut menjaga ketertiban dan keamanan. Untuk itu peran masyarakat menjadi penting.
Demikian diungkapkan Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla, ketika menyampaikan keynote speec pada Seminar Sekolah Strategi Aktualisasi Democratic Policing bertemakan “Mengantisipasi Dinamika Politik dan Ekonomi Global dalam rangka Tercapainya Pembangunan Nasional” di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), Jl.Trunojoyo, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan pada Senin, 15/10.
“Karena keterbukaan itu, maka peranan masyarakat sangat penting dalam hal apakah itu membuat kejahatan, atau pelanggaran, atau pun menginformasikan tentang adanya pelanggaran, atau kejahatan tertentu. Semua itu terbuka dan tidak bisa dihindari, karena adanya teknologi,” ungkap Wapres.
Sebagai alat negara, kata Wapres, kepolisian mengikuti posisi negara. Oleh karena itu, jika melihat sejarah demokrasi Indonesia, dan hubungannya dengan democracy policing, polisi melaksanakan tugasnya dalam alam demokrasi yang baik dengan mengikutsertakan masyarakat menjaga keamanan dan ketertiban negara.
“Tentu banyak hal yang telah mengalami perubahan sesuai dengan kondisi negara, dan juga pemerintahan. Walaupun hubungannya tidak (signifikan). Marilah kita melihat sejarah pemerintahan, perilaku, dan juga tentu demokrasi, yang kita ikuti,” ajak Wapres.
Menengok kebelakang di era awal kemerdekaan, kata Wapres, dibentuk UUD 1945 yang berdasarkan Pancasila, antara lain menekankan “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam (permusyawaratan) perwakilan,” ucapnya mengutip sila keempat dari Pancasila.
Artinya adalah, timbulnya demokrasi di negeri ini dalam konteks tersebut (pelaksanaan sila keempat Pancasila), namun kemudian berubah menjadi negara RIS (Republik Indonesia Serikat) pada tahun 1949-1950-an. “Kemudian timbul demokrasi parlementer pada 1950-an sampai dengan 1957,” paparnya.
Dalam demokrasi parlementer, lanjut Wapres, tentu peranan masyarakat terbuka, dan layanannya juga harus terbuka di tingkat pemerintahan. Tetapi kemudian timbul otoriter pada zaman-zaman akhir pemerintahan ketika itu sampai dengan 1964-1965. Kemudian 1966 pemerintah jatuh, dan timbul lah Orde Baru yang semula demokratis berubah menjadi otoriter meski dengan demokrasi Pancasila, dan kemudian jatuh lagi dalam alam reformasi tahun 1998.
“Sekarang kita masuk di masa reformasi yang lebih demokratis. Artinya adalah, polisi sebagai alat negara tentu mengikuti pola-pola itu,” jelasnya.
Meski demikian, menurut Wapres lagi, bahwa dalam era demokrasi, terdapat tiga hal pokok perubahan reformasi, yaitu yang pertama, ialah berfungsinya demokrasi yang seimbang. “Oleh karena itu DPR dan Pemerintah mempunyai kewenangan yang sama dalam hal anggaran atau pun kebijakan undang-undang,” jelasnya.
Yang kedua adalah timbulnya otonomi daerah, dari sentralisasi ke desentralisasi. “Walaupun sistem ini memang pemerintah desentralisasi, namun kepolisian tetap tersentralisasi,” jelasnya.
Yang ketiga, ialah kebebasan berpendapat. “Inilah yang paling penting dalam hal kita semua. Bahwa semua terbuka, ada saja kasus tertentu, semua terbuka. Apalagi dengan teknologi yang ada,” katanya.
Menurut pandangan Wapres, bahwa dalam rangka peningkatan peran polisi dan masyarakat secara bersama-sama tersebut, tidak lepas dari kemajuan teknologi yang ada, serta terjadinya perubahan reformasi ke arah demokrasi. “Bagaimana demokrasi, teknologi, dan juga pandangan masyarakat digabungkan menjadi sesuatu kekuatan yang besar,” tegasnya.
Wapres pun mengungkapkan bahwa pernah terjadi paradikma yang berdampak pada rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap kepolisian, sampai-sampai dicontohkan bahwa masyarakat enggan menjadi saksi untuk sebuah peristiwa karena takut.
“Ada pandangan di masyarakat yang jika melaporkan ayamnya hilang (ke Polisi), khawatir kambingnya juga ikut hilang,” ungkapnya. Artinya lanjut Wapres, justru lebih bermasalah kalau melaporkan ke polisi. “Ini paradigma yang pernah terjadi. Oleh karena itu, orang kadang-kadang kalau tidak penting, tidak menghubungi polisi,” katanya.
Karenanya dengan perkembangan jaman tersebut, Wapres pun berharap adanya sinergitas peran polisi, masyarakat, dan teknologi tersebut dapat melahirkan kebijakan-kebijakan yang memperkuat sistem informasi untuk menjadi perubahan kepolisian yang lebih baik.
“Mudah-mudahan, tentu sekarang ini dengan sistem informasi yang kuat tidak lagi terjadi (krisis kepercayaan terhadap polisi). Kebijakan-kebijakan seperti inilah yang harus menjadi bagian dari perubahan-perubahan kita semua dalam sejarah ini,” harapnya.
Oleh karena itu, dalam pandangan Wapres, sistem kenegaraan terdapat adanya hubungan antara sesuatu yang berputar, vicious circle, sesuatu yang saling mempengaruhi.
“Kalau ketertiban atau keamanan terganggu, ekonomi terganggu. Karena siapa yang ingin berusaha atau investasi kalau ketertiban (terganggu), kalau sering terjadi perampokan dan kejahatan, siapa yang mau invesatasi di Indonesia?,” sergahnya.
Untuk itu tandasnya lagi, ia berharap adanya peran polisi dan peran masyarakat yang sama dalam meningkatkan keamanan dan ketertiban. “Siapa yang harus mendahului? Dua-duanya. Masyarakat memberikan partisipasinya, di lain pihak kepolisian tentu menjalankan tugasnya secara baik, secara cepat,” terangnya.
Di akhir sambutannya, Wapres juga mengapresiasi kinerja Polisi dan TNI yang belum lama ini telah ditunjukkan dalam menjaga keamanan dan ketertiban pada event besar yang belum lama ini diselenggarakan oleh Indonesia. Ketiga event tersebut adalah Penyelenggaraan Asian Games, Penyelenggaraan Asian Para Games, dan Pertemuan IMF di Bali yang telah berjalan sukses dan aman.
“Saya kemudian ingin berterima kasih kepada kepolisian khususnya, tentu juga TNI, karena tiga peristiwa besar di negeri ini, Asian Games, Asian Para Games, Pertemuan IMF di Bali, semua aman, kata Wapres yang disambut tepuk tangan meriah dari peserta dan undangan.
Itu tidak terlepas daripada peranan yang baik dari pada kepolisian dan TNI, puji Wapres. “Saya bilang satu saja mercon besar meledak di Bali minggu lalu, seluruh dunia akan tahu, dan mungkin mereka langsung pulang, berapa kerugian kita, akhirnya orang akan mengatakan tak usah investasi ke indonesia,” katanya. “Konferensi pun dibom,” katanya lagi. Padahal mungkin hanya mercon besar yang meledak. Itu semua mempunyai (dampak). Apalagi kalau bom betulan. Kalau ada dua yang meninggal, menteri keuangannya negara lain, dua meninggal di sini, habis kita. Saya berterima kasih untuk itu.
“Begitu juga pada kegembiraan di Asian Games, karena prestasi yang baik, di samping itu juga penyelenggaraan yang baik, tentu memberikan nama baik, yang kemudian efeknya ialah bahwa Indonesia itu aman, karena aman mari kita investasi di Indonesia, mari kita berbisnis dengan Indonesia,” harap Wapres atas prestasi tersebut.
Itu semua ujungnya adalah ketertiban. Tapi begitu sebaliknya, maka akan sebaliknya yang timbul. “Karena itu lah maka sebagai pemimpin-pemimpin Polri, memang ini kita harapkan bahwa hal-hal ini menjadi perhatian utama kita semua di negeri ini,” pungkas Wapres.
Hadir dalam acara tersebut antara lain Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Sjafruddin, Wakapolri Komjen Pol Ari Dono Sukmanto, dan sejumlah perwira tinggi Polri.
Sementara itu Wapres didampingi oleh Kepala Setwapres Mohamad Oemar, Plt. Deputi Bidang Dukungan Kebijakan Pemerintahan Guntur Iman Nefianto, dan Staf Khusus Wapres Setya Arinanto. (SY/RN-KIP Setwapres).