Jakarta, wapresri.go.id – Tahun ini, Indonesia-Jepang merayakan hubungan bilateral kedua negara yang ke-65 tahun. Dalam rentang usia tersebut, kedua negara berupaya meningkatkan hubungan dengan melakukan berbagai kerja sama, baik di sektor ekonomi, pendidikan, perdagangan, maupun hubungan antarpengusaha (business to business) dan antarmasyarakat (people to people).

Wakil Presiden (Wapres) Republik Indonesia K.H. Ma’ruf Amin turut mainkan peran dalam meningkatkan hubungan kedua negara. Selama menduduki jabatan sebagai orang nomor 2 di Indonesia, Wapres telah berkunjung selama 3 kali, yaitu Oktober 2019, September 2022, dan terkahir Maret 2023.

Dalam lawatan terakhirnya ke 2 kota di Negeri Sakura tersebut, yakni Osaka dan Kyoto,  Wapres memiliki 3 agenda utama, yaitu memperluas jejaring ekosistem ekonomi syariah, mempromosikan moderasi beragama, dan melakukan pertemuan bilateral dengan berbagai pemangku kepentingan, salah satunya Gubernur Kyoto Nishiwaki Takatoshi.

Dalam pertemuan dengan Gubernur Nishiwaki, Rabu (08/03/2023), salah satu isu yang dibahas Wapres adalah peningkatan kapasitas sumber daya manusia (SDM).

“Terkait peningkatan kapasitas SDM, saya harap Kyoto dapat terus mendukung upaya kerja sama pendidikan vokasi, penelitian dan teknologi,” ujar Wapres.

Menindaklanjuti arahan Wapres untuk meningkatan kapasitas SDM ini, Sekretariat Wakil Presiden (Setwapres) menyelenggarakan “Sharing Discussion: Indonesia and Japan in Indo-Pacific Era”, di Auditorium Setwapres, Jl. Kebon Sirih No,14, Jakarta, Selasa (14/03/2023). Acara diselenggarakan secara hybrid dengan mengundang narasumber tunggal Professor College of International Relations Ritsumeikan University, Japan, Prof, Jun Honna, Ph.D., dan dipandu oleh Asisten Deputi Hubungan Luar Negeri (Asdep Hublu) Lukman Hakim Siregar sebagai Moderator.

Acara dibuka oleh Deputi Bidang Dukungan Kebijakan Pemerintahan dan Wawasan Kebangsaan Velix Vernando  Wanggai. Ia menyebutkan, tema perkembangan situasi di Kawasan Indo-Pasifik merupakan isu yang sedang hangat dan menjadi pembahasan dalam beberapa tahun terakhir. Terlebih di tengah semakin menguatnya rivalitas antara China dan Amerika Serikat (AS).

Pentingnya tema tersebut, ungkap Felix, disampaikan oleh Ibu Menteri Luar Negeri (Menlu) Retno Marsudi berulang kali, dimana ia menegaskan betapa strategisnya Kawasan Indo-Pasifik ini. Namun, Menlu juga mengkhawatirkan bahwa rivalitas antara China dan AS akan mengganggu stabilitas kawasan akibat perseteruan dua kekuatan besar dunia yang berupaya untuk saling meneguhkan hegemoninya.

“Apabila rivalitas tersebut tidak dikelola dengan baik akan dapat berujung pada konflik terbuka di Kawasan Indo-Pasifik,” kata Felix mengutip Menlu Retno Marsudi.

Berada di kawasan yang sama, sambung Felix, Indonesia dan Jepang pun menaruh perhatian khusus terhadap ancaman stabilitas Indo-Pacific. Jepang juga merupakan salah satu negara yang concern dengan semakin menguatnya rivalitas kekuatan besar di Indo-Pasifik dan juga berupaya mewujudkan Kawasan Indo-Pasifik yang stabil dan makmur melalui visi Free and Open Indo-Pacific.

“Saya yakin semangat visi Jepang ini sejalan dengan visi Indonesia mengenai Kawasan Indo-Pasifik yang damai, stabil dan makmur,” tegas Felix.

Sebagai narasumber, Jun Honna mengambil topik yang lebih spesifik dalam diskusi bertajuk “Indonesia-Jepang di era Indo-Pasifik” tersebut, yaitu peace building cooperation (kerja sama membangun perdamaian). Tema ini sejalan dengan isu yang diangkat Wapres ketika menjadi Keynote Speaker di Kyoto University, dimana Wapres menekankan, salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk menciptakan perdamaian adalah dengan melakukan dialog antarumat beragama.

Lebih jauh, Jun menambahkan bahwa dalam menciptakan perdamaian, Indonesia dan Jepang dapat meningkatkan kerja sama strategis (strategic partnership) di lima bidang, tidak hanya untuk kepentingan kedua negara, tetapi juga kepentingan kawasan Indo-Pasifik. Menurutnya, tahun ini menjadi tahun yang tepat untuk dilakukan kerja sama, karena tahun ini Indonesia-Jepang merayakan hubungan bilateral yang ke-65 tahun. Di samping itu, tahun ini Indonesia terpilih menjadi chairman of ASEAN, sementara Jepang terpilih menjadi chairman of G7.

Adapun lima bidang yang dibahas Jun dalam payung peace building, adalah pertama, conflict resolution (resolusi konflik). Menurut Jun, Indonesia memiliki pengalaman luar biasa dalam menyelesaikan berbagai konflik yang terjadi di Tanah Air, seperti di Maluku, Aceh, Papua, Poso, dan Ambon.

“Pengalaman dan kebijakan Indonesia dalam peace building atau conflict resolution itu harus menjadi best practice (praktik terbaik) untuk Asia Tenggara maupun Indo-Pasifik. Tapi, setahu saya, Indonesia belum promosikan pengalaman-pengalaman ke luar negeri. Saya kira ini waktunya, tahun ini, waktunya yang cocok, untuk kita semuanya mempromosikan pengalaman Indonesia sebagai best practice di [bidang] conflict resolution,” ujar Jun meyakinkan.

Kedua, deradicalization (deradikalisasi). Jun mencatat, meskipun PBB mempunyai kebijakan terkait deradikalisasi, tetapi lembaga tersebut tidak memiliki kebijakan yang dilakukan Indonesia. Umumnya, kebijakan deradikalisasi lebih menekankan pada law enforcement (penegakan hukum), tetapi Indonesia menggunakan all society approach (pendekatan seluruh lapisan masyarakat) yang melibatkan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), media massa, akademi, kelompok perempuan, dan sebagainya.

Ketiga, democracy consolidation (konsolidasi demokrasi). Jun mencermati, di kawasan Indo-Pasifik masih terdapat negara-negara yang belum menerapkan demokrasi, seperti Thailand dan Myanmar. Ia menilai, Indonesia-Jepang dapat berkolaborasi di bidang ini, karena Jepang merupakan negara demokrasi yang paling lama di Asia, sementara Indonesia menjadi negara terbesar ke-3 yang menerapkan konsep tersebut.

“Saya sangat yakin kita bisa membuat program yang baru untuk mempromosikan konsolidasi demokrasi. Karena Indonesia itu negara yang paling besar [menerapkan demokrasi] di Asia, Jepang [negara] yang paling lama [menerapkan demokrasi]. Saya kira itu sangat cocok sebagai partner untuk masa depan Asia Tenggara dan Indo-Pasifik,” kata Jun optimis.

Keempat, social polarisation (polarisasi sosial). Menurut Jun, polarisasi muncul karena dampak dari media sosial dan internet, dan ini dapat membahayakan kesehatan demokrasi. Polarisasi ini muncul di semua negara, termasuk Amerika Serikat dan Jepang. Meskipun saat ini Jepang belum siap untuk membahas polarisasi, Jun meyakini kerja sama Indonesia-Jepang akan mampu menghasilkan solusi yang dibutuhkan.

“Jadi kalau kita bisa kerja sama di bidang itu, saya sangat yakin kita bisa mencari solusi dan kebijakan untuk mengurangi polarisasi tersebut,” tutut Jun meyakinkan.

Kelima, human security (keamanan/kesejahteraan manusia). Jun melihat, sebelumnya, isu yang menjadi perhatian khusus suatu negara adalah national security (keamanan nasional). Namun kini, concern tersebut sudah beralih pada keamanan/kesejahteraan individu, seperti bebas dari kemiskinan, terlindungi dari konflik sosial, dan lain-lain.

“Jepang melihat human security sebagai salah satu kebijakan yang sangat penting, tetapi belum ada kerja sama dengan Indonesia di bidang human security,” ungkap Jun.

Dari kelima bidang yang dapat dikolaborasikan antara Indonesia dan Jepang tersebut, selaku Moderator, Lukman meminta peserta yang hadir untuk memberikan masukan bagaimana kerja sama tersebut dapat diwujudkan. Ke depan, Lukman menuturkan, hasil dari diskusi ini akan menjadi rekomendasi kebijakan (policy recommendation) yang akan dibawa Jun Honna ke Jepang.

Menanggapi paparan Jun Honna, Deputi Bidang Dukungan Kebijakan Ekonomi dan Peningkatan Daya Saing Guntur Iman Nevianto berpendapat, bidang ekonomi perlu dimasukkan dalam payung kerja sama peace building antara kedua negara. Menurutnya, tanpa ekonomi, kelima bidang yang telah disebutkan sebelumya akan terasa pincang.

“Saya mengambil perumpamaan yang sangat sederhana, jadi kita bicara deradikalisasi, bicara conflict resolution, dan lain-lain. Ibarat kita sahabat lagi minum kopi. Pagi-pagi mungkin enak, kita hanya bicara-bicara, ketawa-ketawa, mulai lepas tengah hari, mulai lapar kita. Sehigga kita perlu ada roti, ada kue, dan lain-lain. Itu adalah aspek ekonomi,” jelas Guntur memberikan analogi.

Sementara, Asdep Tata Kelola Pemerintahan Slamet Widodo menyebutkan beberapa bidang yang dapat dikolaborasikan oleh Indonesia dan Jepang, di antaranya penurunan angka kemiskinan, pemberantasan korupsi, penanggulangan bencana alam, dan penyelenggaraan good governance (pemerintahan yang baik).

Sedangkan, Analis Kebijakan Muda pada Asdep Penanggulangan Kemiskinan Indira Oktoviani menyampaikan pentingnya kerja sama dalam sektor keamanan teknologi (cyber security).

Terakhir, Analis Kebijakan Madya pada Asdep Hublu Amri Kusumawardana mengusulkan, Jepang dapat menjadi donor dalam triangle cooperation. Menurutnya, Indonesia memiliki gagasan-gagasan yang dapat dibagi ke negara-negara yang masih membutuhkan peningkatan kapasitas SDM. Ia pun mencontohkan, beberapa tahun lalu Indonesia memberikan dukungan teknis berupa training pertanian kepada masyarakat di Afrika. Sementara Jepang memberikan bantuan pembiayaan, berupa penerbangan dan akomodasi.

“Kita bisa share pengalaman-pengalaman Indonesia ke negara-negara lain dengan dukungan dari Jepang, mungkin support pendanaan, kita [Indonesia] support ideas, kita berkolaborasi di situ,” kata Amri memberikan saran.

Hadir dalam acara tersebut, Deputi Administrasi Sapto Harjono, Pejabat Eselon 2, serta Pejabat Struktural dan Pejabat Fungsional di Lingkungan Sekretariat Wakil Presiden. (SK-BPMI, Setwapres)