SAMBUTAN WAKIL PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
K.H. MA’RUF AMIN
PADA ACARA PEMBUKAAN ANNUAL INTERNATIONAL CONFERENCE ON ISLAMIC STUDIES (AICIS) KE-20 TAHUN 2021
UIN RADEN MAS SAID SURAKARTA
25 OKTOBER 2021
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh, bismillah walhamdulillah washalatu wassalamu ‘ala rasulillah wa ‘ala alihi wa shahbihi wa mawwala.
Yang saya hormati Menteri Agama beserta jajaran, para duta besar negara sahabat, Wali Kota Surakarta, Rektor UIN Raden Mas Said, para Rektor UIN/IAIN dan Ketua STAIN se-Indonesia, hadirin dan para undangan yang berbahagia.
Pertama-tama, marilah kita panjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, atas segala limpahan berkah, rahmat, dan karunia-Nya kepada kita sekalian, sehingga kita semua dapat hadir dalam rangka pembukaan “Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) ke-20 Tahun 2021”.
Saya memberikan apresiasi dan penghargaan kepada Kementerian Agama atas penyelenggaraan kegiatan ini, di tengah wabah pandemi Covid-19 yang masih membayangi kehidupan kita. Tema: “Islam in A Changing Global Context: Rethinking Fiqh Reactualization and Public Policy” sangat tepat dan sesuai dengan tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia dan dunia.
Covid-19 menjadi pandemi global yang menyerang hampir semua negara di dunia. Dampak yang ditimbulkan sangat luas dan multi dimensi, sehingga memaksa semua negara menetapkan kebijakan khusus untuk menanggulanginya.
Di antara sektor yang terimbas cukup dalam adalah bidang ekonomi. Hampir semua negara mengalami perlambatan pertumbuhan ekonomi yang sangat signifikan. Bahkan banyak negara berkembang yang ekonominya terdampak sangat serius sehingga membutuhkan bantuan dari negara lain.
Pandemi Covid-19 dan segala dampaknya merupakan pengalaman baru bagi kita semua, sehingga pemerintah harus mengambil keputusan dan tindakan extraordinary untuk menanggulanginya.
Dunia membutuhkan gagasan-gagasan baru untuk mengatasi tantangan pandemi Covid-19, baik dari aspek medis maupun aspek-aspek non medis yang meliputi semua bidang yang terdampak wabah ini. Di sinilah peran syariah Islam sangat diharapkan untuk memberikan solusi yang kontekstual agar kebijakan yang terbaik dapat diambil.
Syariah Islam diletakkan untuk memastikan terwujudnya tujuan syariah dalam membangun kemaslahatan baik di dalam masalah agama maupun masalah dunia secara simultan. Setiap ketentuan hukum syariah dimaksudkan untuk menjaga hal-hal yang primer (ad-dharuriyat), seperti menjaga agama (hifzh ad-din), jiwa (hifzh an-nafs), akal (hifzh al-aql) dan keturunan (hifzh an-nasl), serta harta (hifzh al-maal), maupun yang sifatnya sekunder (al-haajiyat) seperti hal-hal yang menyangkut aspek muamalah yang apabila diabaikan maka akan terjadi berbagai kesempitan dan kesulitan (ad-dhaiq wal-haraj), maupun yang sifatnya melengkapi kesempurnaan hidup (tahsiniyat/tersier).
Syariah itu ada yang sumbernya nash Al-Qur’an dan Hadis (Al-Manshushah) dan hasil ijtihad (Ijtihadiyah). Bahkan menurut Imamul Haramain kebanyakan syariah berasal dari hasil ijtihad karena nash itu terbatas (fa inna nushusha mahdudah), sedangkan berbagai masalah kehidupan (al-masail wal waqa’i wan-nawadzir), baik yang menyangkut masalah ekonomi, sosial, politik, budaya, dan lain-lain tidak terbatas, baik yang menyangkut masalah yang baru (al-masail al-jadidah) atau merupakan masalah lama yang mengalami perubahan (al-masail al-mustajaddah). Di sinilah pentingnya peran fikih untuk merespon berbagai perubahan tersebut karena fikih merupakan solusi (makharij) untuk mengurai berbagai problema yang dihadapi setiap saat.
Saya yakin fikih Islam dapat memberikan solusi dan sumbangan pemikiran untuk mengatasi pandemi Covid-19 beserta seluruh dampaknya. Saya juga merasa yakin karena fikih Islam dimaksud untuk memberikan kemaslahatan bagi semua orang. Fikih Islam tidak dimaksudkan untuk menyulitkan kehidupan, namun sebaliknya fikih Islam merupakan solusi bagi kehidupan umat manusia, termasuk solusi untuk menangani pandemi Covid-19 ini.
Pandemi Covid-19 juga berdampak pada kehidupan keagamaan. Para ulama di hampir semua negara, terutama yang berpenduduk muslim, melakukan telaah ulang (i’adatu an-nadhar) terhadap pandangan keagamaannya, karena sudah tidak sesuai dan tidak relevan dengan kondisi pandemi yang ada. Mereka melakukan ijtihad untuk menetapkan fatwa baru yang lebih relevan dengan kondisi pandemi. Fatwa baru tersebut menjadi panduan umat Islam di negara masing-masing, misalnya tentang bagaimana melaksanakan ibadah di tengah pandemi Covid-19, baik untuk tenaga medis, para penderita, ataupun umat Islam pada umumnya, tentang tata cara pemulasaraan jenazah (tajhiz al-janaiz) pasien positif Covid-19 yang sesuai protokol kesehatan, dan fatwa terkait instrumen ekonomi yang dapat digunakan sebagai mitigasi dampak pandemi Covid-19.
Pada dasarnya ajaran Islam diturunkan oleh Allah SWT tidak untuk menyulitkan pemeluknya. Di dalam menjalankan ibadah ada yang bisa dilakukan dengan cara yang normal (‘azimah), yaitu ketika dilakukan di situasi normal. Namun dalam kondisi tidak normal pelaksanaan ibadah bisa dilakukan dengan menyesuaikan kondisi yang ada. Kondisi tidak normal tersebut bisa berupa masyaqqah atau dharurah syar’iyyah. Dua-duanya menjadi alasan adanya keringanan (rukhsah) dalam menjalankan ajaran Islam. Sehingga hukum Islam mempunyai fleksibilitas dalam pelaksanaannya (murunatu al-fiqh al-islami) sesuai kondisi yang ada. Hal itu sesuai firman Allah SWT:
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ )Al-Baqarah:185)
وَمَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ (Al-Hajj:78)
Menurut Imam As-Syathibi rukhsah ada yang sifatnya takhyir, merupakan pilihan antara hukum asal (‘azimah) dan keringanan (rukhsah). Ada pula yang disunatkan agar lebih memilih yang rukhsah dari pada yang ‘azimah, ada pula yang sifatnya mathlub (diharuskan), seperti memakan bangkai ketika tidak ada pilihan lain untuk mempertahankan hidup. Bahkan Imam As-Syathibi mengatakan apabila dia tidak mengonsumsi dan kemudian mati maka dia masuk neraka.
Dalam setiap pembahasan fikih baik yang menyangkut ibadah, muamalah, jinayah, dan lainnya selalu memuat pedoman dan memberi tuntunan yang menyangkut kemaslahatan dan terwujudnya maqashidus syariah.
Fleksibilitas fikih Islam (murunatu al-fiqh al-islami) inilah yang menjadi ruh fatwa para ulama di setiap masa, termasuk pada masa pandemi Covid-19 ini. Hal itu sejalan dengan tujuan utama diturunkannya syariah (maqashid as-syariah). Kondisi pandemi Covid-19 yang terjadi saat ini, menjadikan hifdzu an-nafsi (menjaga keselamatan jiwa) menjadi pertimbangan paling utama dalam menetapkan fatwa, karena tidak ada alternatif penggantinya.
Motivasi hifdzu an-nafsi (menjaga keselamatan jiwa) menjadi pertimbangan utama di Indonesia dalam menetapkan kebijakan tanggap darurat untuk mengatasi pandemi Covid-19, yaitu dengan menetapkan langkah-langkah seperti mengurangi penyebaran Covid-19 dan menekan jumlah orang yang tertular dengan memberlakukan pembatasan pergerakan masyarakat, social distancing, melarang kerumunan, dan mengurangi segala bentuk kegiatan yang dapat berpotensi menularkan Covid-19.
Syekh Nawawi Al-Bantani ketika menafsirkan ayat Al-Qura’n Suran An-Nisa ayat 71, khudzuu hidzrakum, Beliau mengatakan bahwa ayat ini menunjukkan wajibnya menjaga diri (wujubil hidzri) dari semua bahaya yang diduga akan terjadi (án jami’il madhaar al-madznunah). Oleh karena itu, berobat (al-íqdam alal ílaj bid-dawa’), atau menjaga diri dari wabah (al-ikhtiraj ‘anil waba), serta menghindari duduk di balik tembok yang miring (wal julus tahtal jidar al-maail) hukumnya adalah wajib. Padahal pandemi Covid-19 bukan sesuatu yang diduga adanya, bukan maznunah, melainkan sesuatu yang yakin adanya dan nyata (al-mutayaqqanah wal-bayyinah).
Dengan demikian penanggulangan Covid-19 bukan semata-mata masalah kesehatan, tetapi termasuk bagian penting dari persoalan agama, amrun diniyyun syar’iyyun hima’iyyun ikhtiraziyyun (persoalan agama yang sesuai dengan syariah yang sifatnya memberikan penjagaan dan perlindungan).
Dalam tahapan tersebut peran para ulama sangat signifikan, melalui fatwa yang menganjurkan untuk mengambil rukhshah dalam menjalankan ibadah dan aktivitas keagamaan lainnya. Setiap aktivitas keagamaan yang melibatkan kerumunan orang banyak, seperti salat Jumat dan jamaah rawatib dan tarawih di masjid diarahkan untuk dilaksanakan di rumah.
Kebijakan terkait dengan penanggulangan dampak Covid-19 di bidang ekonomi juga menggunakan ruh fleksibilitas ini (al-murunah). Hal itu dilakukan sebagai upaya untuk menjalankan tujuan utama hukum Islam (maqashid syariah), yakni tegaknya kemaslahatan dan kemanfaatan serta hilangnya bahaya (iqamatul mushalih wal manaafi’ wa izalatul mafasyid wal adhrar).
Pendekatan fikih sangat membantu dalam melakukan penanggulangan dampak ekonomi dari pandemi Covid-19, karena fikih mempunyai karakter solutif terhadap permasalahan yang muncul (makharij fiqhiyah) dan meringankan (at-taysir) yang dalam aplikasinya berupa langkah penyelamatan dengan memberlakukan relaksasi, terutama bagi kelompok terdampak dalam menjalankan kewajiban finansialnya.
Relaksasi (at-taysir) yang diberlakukan tersebut tentu saja setelah mempertimbangkan kondisi riil masyarakat yang mengalami kesulitan (masyaqqah) dalam menjalankan kewajiban finansialnya akibat dampak pandemi Covid-19. Namun demikian, relaksasi (at-taysir) yang diberlakukan tersebut harus tetap dalam koridor yang dibenarkan secara syar’iah (at-taysir al-manhajiy), yakni dengan tetap memperhatikan aspek-aspek kesepakatan para pihak dan berdasarkan kebijakan pemerintah sebagai penanggung (kafil) atas kewajiban finansial masyarakat terdampak.
Kebijakan pemerintah tersebut merupakan manifestasi dari tanggungjawab menjaga kemaslahatan masyarakat, karena pemerintah harus bersikap seperti disebut dalam kaidah bahwa pemerintah dalam melayani rakyatnya harus berdasarkan pertimbangan kemasalahatan (tasharuful imaam ‘ala ro’iyah manuutun bil mashlahah).
Pemberlakuan relaksasi selektif (at-taysir al-manhajiy) sebagai salah satu landasan penetapan kebijakan nasional dalam mitigasi dampak Covid-19 dalam bidang ekonomi, merupakan bagian sumbangan fikih Islam dalam mengurai permasalahan yang ada di masyarakat (li hillil isykalatil waqiíyah).
Hadirin yang berbahagia, salah satu peran penting AICIS ini, menurut saya, tidak saja mampu menguatkan kajian Islam di tanah air, khususnya di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI), tetapi juga mempromosikan Indonesia sebagai pusat kajian Islam dunia yang mengusung gagasan Islam Indonesia yang moderat, Islam wasathiyah, yang memiliki posisi sentral dan dibutuhkan oleh masyarakat dunia dalam mengatasi konflik dan berbagai permasalahan lainnya.
Saya berharap kegiatan ini berjalan dengan lancar dan produktif memunculkan rekomendasi serta temuan-temuan yang bermanfaat dan dapat menjadi solusi bagi bangsa dan umat manusia.
Semoga Allah SWT senantiasa memberikan limpahan kesehatan dan kekuatan, sehingga kita semua dapat melewati masa pandemi Covid-19 ini dan dapat membangun kembali Indonesia yang lebih baik.
Akhirnya, Dengan mengucapkan Bismillahirrahmanirrahim, Saya membuka Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) ke-20 Tahun 2021. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan ‘inayah-Nya dan meridai setiap ikhtiar yang kita lakukan. Amin ya rabbal’alamin. Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
***