Jakarta. Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) adalah wakil dari masyarakat untuk menilai agar apa yang disampaikan stasiun televisi kepada masyarakat sesuai dengan aturan yang ada, informasi yang disampaikan adalah benar, hiburan yang disajikan tidak berlebihan. Pada prinsipnya stasiun televisi itu tidak menggunakan frekuensi publik untuk menyampaikan informasi yang keliru. Pernyataan ini disampaikan Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla saat menerima kunjungan KPI Pusat yang dipimpin oleh ketuanya Judhariksawan di Kantor Wakil Presiden, Kamis 13 November 2014.

Wapres juga meminta KPI untuk menentukan kriteria dari tayangan yang baik dan lakukan pengawasan terhadap pelaksanaan dari kriteria yang telah ditetapkan. “Siapa yang melanggar peraturan dapat dihukum. Semua ada pasal-pasalnya mereka dapat diproses secara hukum,” ucap Wapres. Tiga hal yang ditakutkan pemilik stasiun televisi adalah jika stasiunnya terkait kasus pidana, pencabutan izin penggunaan frekuensi dan turunnya pemasangan iklan.

Dalam menjalankan tugasnya, KPI bermitra dengan lembaga-lembaga lainnya, seperti Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), terutama karena KPI bukan lembaga yang dapat memberikan sanksi atau hukuman. KPI hanya dapat memberikan rekomendasi, jika terkait dengan penyalahgunaan frekuensi misalnya, KPI dapat melaporkannya kepada Kementerian Kominfo sebagai institusi yang memiliki kewenangan. Bahkan jika perlu, KPI dapat memberikan kasusnya kepada pihak Kepolisian, sehingga tidak perlu lagi mengambil peran pemerintah. “Jika terkait pidana diberikan kepada polisi untuk diproses secara hukum. Tentunya berdasarkan rekomendasi yang keras, karena mewakili masyarkat,” ujar Wapres.

Di awal pertemuan, Judhariksawan menyampaikan bahwa secara kelembagaan KPI adalah lembaga negara yang indpenden dan berharap sinergitas lembaga pemerintah dapat lebih baik lagi. Diakuinya, dalam membangun sinergi dalam pengawasan penyiaran menimbulkan banyak dinamika. “Terutama hubungan KPI dan kementerian, dimana terdapat perbedaan pandangan terutama pada konteks regulasi penyiaran dan penataan penyiaran ke depan,” ujar Judhariksawan. Turut hadir dalam pertemuan itu adalah para anggota KPI Pusat, yakni Idy Muzayyad, Agatha Lily, Fajar Arifianto Isnugroho, Amirudin, Danang Sangga Buana, Bekti Nugroho dan Sujarwanto Rahmat.

Pada pemilihan umum lalu, KPI membuat gugus tugas dengan KPU, Bawaslu dan KIP. Untuk pemilu kepala daerah yang akan dilaksanakan serempak, KPI juga akan melakukan pengawasan bersama agar lembaga penyiaran memiliki posisi yang tepat dalam memberikan informasi. “Tidak memberitakan berita-berita yang menyebabkan polarisasi di dalam masyarakat,” ujar Idy.

Anggota KPI Agatha Lily melaporkan bahwa stasiun televisi sangat terpengaruh oleh lembaga rating karena standar yang ditetapkan oleh lembaga rating jauh dari nilai-nilai positif yang dapat diterima masyarakat. “Maka muncullah acara-acara televisi yang mengedepankan joget-joget. Persaingan industri yang sangat buruk sekali,” ujar Lily. Ia pun menyebutkan bahwa lembaga rating tersebut belum pernah diaudit tentang metode yang digunakan.

Wapres juga mengusulkan agar KPI tidak hanya untuk melakukan penandatanganan nota kesepahaman dengan Kementerian Kominfo, karena nota kesepahaman hanya akan mengikat mereka yang menandatangani nota terseut. “Tetapi buatlah peraturan bersama, kalau perlu libatkan Kepolisian, karena peraturan bersama mengikat banyak pihak, tidak hanya mereka yang menandatangani, tetapi juga yang termuat dalam perturan tersebut,” ujar Wapres.

Wapres mengakui bahwa ada tayangan-tayangan yang melewati batas kewajaran karena ingin memliki rating tinggi. Tentunya hasil dari lembaga rating berkaitan dengan pemasangan iklan. “Tugas KPI untuk mengaudit sistemnya, apakah mereka memiliki decoder sekian ribu, bagaimana sistem itu berjalan,” ucap Wapres.

Tetapi, menurut Wapres, pemasangan iklan juga tidak melulu mengandalkan hasil dari lembaga rating, tapi menggunakan bukti empiris. Wapres memberi contoh, misalnya produsen bumbu masak, tentunya tidak akan menayangkan iklannya di stasiun televisi yang lebih banyak menayangkan berita, tetapi lebih memilih stasiun televisi keluarga.

KPI juga melaporkan bahwa hingga kini terdapat 12 titik di wilayah perbatasan yang kurang mendapat akses informasi nasional, terutama dari Lembaga Penyiaran Publik (LPP) seperti TVRI, RRI atau juga pemerintah daerah setempat. Wapres menjelaskan bahwa kini teknologi sudah berkembang pesat. Saat ini sudah bukan zamannya lagi tergantung dengan stasiun televisi lokal. “Hanya dengan Rp. 150-200 ribu parabola masyarakat sudah bisa membeli parabola. Teknologi tidak bisa dibatasi, dan tidak ada lagi pembatasan,” ujar Wapres.

Wapres juga mengingatkan bahwa pengelolaan televisi dulu dan sekarang sudah jauh berbeda. Dahulu siaran televisi itu tunggal, hanya ada TVRI dan masyarakat harus membayar iuran TVRI. “Sekarang menonton gratis karena pemasukan dari iklan. Semua stasiun televisi berlomba agar acaranya ditonton dimana saja,” ucap Wapres.

Begitu pula dengan konten yang ditayangkan oleh stasiun televisi, KPI tidak dapat memaksa agar stasiun televisi menayangkan program budaya, karena sekarang begitu banyaknya saluran tivi, maka penonton hanya tinggal memilih siaran yang akan ditonton. “Jadi siaran budaya harus kontennya popular, sehingga diperlukan inovasi,” ujar Wapres.

Dalam pertemuan itu juga, Ketua KPI melaporkan bahwa pada hari Selasa 18 November 2014, KPI akan memberikan penghargaan kepada siaran-siaran terbaik atau yang lebih dikenal sebagai KPI Awards. Wapres berharap agar KPI Awards ini tidak hanya mengumumkan siaran terbaik saja, tetapi juga siaran yang terjelek. “Ibarat anak sekolah, yang tidak bisa tidur adalah anak yang mendapat ranking terbawah. Demikian juga dengan siaran televisi, dengan mendapatkan kriteria terburuk, pasti mereka akan dengan cepat memperbaiknya,” ujar Wapres.

****