Penjelasan Juru Bicara Wakil Presiden tentang Tim Pemantau DMI

Kritik Slamet Effendy Jusuf tentang kebijakan Dewan Mesjid Indonesia (DMI) membentuk Tim pemantau loudspeaker, sepertinya karena tidak faham maksud dan tujuan dari kegiatan tersebut. Tim pemantau DMI adalah bagian terkecil dari sebuah proyek besar yang sedang dikerjakan DMI.

Dasar berpikir dan misi dakwahnya jelas dan strategis bagi pengembangan dakwah islam. Selama ini, para Dai berceramah atau khotbah di masjid-masjid, acap kali tidak terdengar dan dicerna dendan baik oleh jamaah akibat kualitas sound system, akustik dan cara penempatannya yang keliru.

Sebuah masjid yang tampak megah dengan loudspeaker mahal dan bagus tapi pemasangannya tidak tepat, akhirmya tidak menghasilkan suara yang baik. Di saat seorang Uztads sudah berbusa-busa berceramah, menghabiskan waktu di mimbar namun pesannya tidak sampai berlalu ibarat angin, jamaah cuma mengantuk bahkan merasa bising karena sound system dalam masjid yang tidak tertata dengan baik. Kalau begini jelas yang rugi adalah umat islam yang datang ke masjid buat sholat dan dengar ceramah tapi tidak tercapai misinya dengan baik.

Oleh karena itu, di sinilah manfaat dari tim DMI, bukan cuma memantau yang di dalam tetapi juga loudspeaker luar untuk mengetahui kualitas suara dan jangkauannya, sehingga suara antara satu masjid dengan masjid yang lain bisa terjadi harmoni.

Saat ini untuk keperluan tersebut DMI telah melatih 700 orang lebih teknisi dan menyiapkan 100 unit mobil teknis. Tiap mobil berisi 3 teknisi: elektrik, sound system dan kebersihan. Mereka akan keliling melatih pengelola-pengelola masjid. Sebaiknya selain mengeritik akan lebih bagus jika berpartisipasi memberi bantuan, sebab masih dibutuhkan ribuan tenaga relawan terlatih untuk melayani 800 ribu mesjid dan mushalla se-Indonesia.

Slamet Effendy Jusuf atau siapapun, juga keliru besar kalau menuduh Pak JK, tidak suka dengan pengeras suara. Yang benar Pak JK inginkan suara masjid lebih harmoni, syahdu dan berkualitas agar dakwah bisa sampai dengan baik kepada ummat. Kalau ceramah dapat didengar dengan baik, maka kata Pak JK bisa jadi ilmu yang bermanfaat bagi jamaah. Bahkan secara tidak langsung mesjid mesjid dapat berfungsi sebagamaina pesanteren. Bayangkan saja kata Pak JK andaikan ceramah memiliki kurikulum yang jadi acuan para muballig untuk berimprovisasi, mungkin akan lahir kader kader islam yang terdidik dari mesjid layaknya dari perguruan tinggi.

Slamet Effendy Jusuf juga harus jujur dan objektif bahwa seruan penataan speaker mesjid bukan hanya datang dari DMI atau Pak JK sendiri, justru upaya ini tidak henti hentinya disuarakan atau dipelopori ulama ulama NU. Mari kita sesekali membuka situs-situs resmi NU, semua juga menyerukan agar loudspeaker mesjid ditata. Bahhan Gus Dur sejak tahun 1982 sudah menulis di Tempo tentang pentingnya menata speaker mesjid agar tidak bising dan tumpang tindih. Aneh kalau Slamet Effendy Jusuf sendiri tidak melihat upaya tersebut justeru tumbuh dan diperjuangkan oleh kaum Nahdiyyin lingkungan di mana Slamet Effendy Jusuf dibesarkan. Upaya penataan loudspeaker inipun punya landasan hukum, karena sejak tahun 1978 Dirjen Bimas Islam Depag telah mengeluarkan Instruksi Nomor KEP/D/101/1978 Tanggal 17 Juli 1978 Tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Mesjid, Langgar dancMushalla. Artinya bukan barang baru di Indonesia dan memiliki dasar hukum.

Kalau Pak JK jangan lagi diragukan kecintaanya kepada mesjid termasuk untuk hal hal kecil seperti loudspeaker. Di Indonesia ini belum pernah ada yang membangun menara masjid untuk tempat loud speaker setinggi yang pernah dibuat Pak JK tahun 1994 silam yakni menara Mesjid Al Markaz yang tingginya mencapai 90 meter. Menara yang terinspirasi oleh menara Masjid Nabawy di Madinah. Bahkan tidak banyak diketahui publik, jika setiap tahun Yayasan Kalla membagi bagikan ribuan speaker ke masjid-masjid dan mushallah agar kualitas soundnya bagus dan pembagian itu masih berlangsung sampai saat ini.

Soal pemicu insiden Tolikara, siapapun yang ditanya apa pemicu keributan di Tolikara pada saat kejadian, akan menyebut loudspeaker. Apakah dia Slamet Effendy Jusuf, Shodiw Mujahid atau Abdul Mu’ti, tentu akan percaya meyakini informasi aparatnya masing masing di lapangan. Karena itulah laporan pertama dan tercepat yang diterima dari aparat terbawah di lapangan dan termasuk Kapolda Papua. Karena mereka yang dari Jakarta, belum satupun ke lokasi. Wartawan yang bertanya kepada Pak JK menyebutkan dalam pertanyaannya; bagaimana tanggapan Pak JK atas pernyataan Kapolda Papua bahwa pemicu keributan di Tolikara adalah suara loudspeaker? Lalu dijawab Pak JK, bahwa dirinya mendapat informasi jika loudspeaker. Kepada wartawan Pak JK menjelaskan selaku Wapres, itulah pentingnya untuk saling memahami dan menahan diri serta membuka dialog agar peristiwa seperti itu tidak terjadi. Dan Pak JK meminta agar penegakan hukum dalam penyelesaiannya di kedepankan.

Jakarta 25 Juli 2015

Husain Abdullah
Juru Bicara Wakil Presiden Republik Indonesia