Jakarta-wapresri.go.id. Dewasa ini, dimana Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) telah dimulai, tidak hanya di dunia, di kawasan ASEAN pun juga akan ditemui persaingan yang sehat dan baik. Untuk menghadapi hal tersebut sekaligus upaya mendorong pertumbuhan ekonomi, dibutuhkan suatu efisiensi.

“Indonesia menggerakkan itu dengan efisiensi di sistem keuangan agar dapat bersaing,” ujar Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla ketika membuka The 55th ACI-Financial Market Association World Congress 2016, di The Ritz Carlton Hotel-Pacific Place, Jakarta, Jumat, (29/4/2016).

Menurut Wapres, salah satu alasan kenapa pasar keuangan yang lain, selain perbankan, sulit bersaing di Indonesia adalah karena tingkat bunga deposito di Indonesia masih sangat tinggi. Padahal, di banyak negara seperti Jepang, sudah banyak terjadi negative interest.

“Apabila tingkat bunga deposito Indonesia pada tahun yang akan datang jauh lebih rendah dibanding saat ini, maka yakinlah pilihan masyarakat pada obligasi (bond) akan menjadi lebih baik. Jadi akan ada alternatif pilihan-pilihan keuangan untuk ekonomi Indonesia,” jelas Wapres.

Oleh karena itu, Wapres mengungkapkan, Pemerintah Indonesia mengambil jalan tengah bekerjasama dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI), menurunkan tingkat bunga Indonesia pada level yang bersaing dengan negara-negara ASEAN. Hal ini tentu saja dapat mendorong pertumbuhan ekonomi.

Wapres berpandangan, pertumbuhan ekonomi suatu negara juga tidak mungkin terjadi, tanpa sistem keuangan yang baik dan kehati-hatian. Apalagi di negara seperti Indonesia. Sebagai negara emerging market, yang sangat tergantung pada kekuatan baik dari dalam maupun dari luar, Indonesia sangat rentan menghadapi krisis.

Lebih jauh Wapres menceritakan krisis yang terjadi di Indonesia. Tahun 1997-1998 adalah krisis terbesar yang pernah dialami negeri ini. Pertumbuhan negatif 15%, inflasi mencapai 60%-70%, kurs rupiah melemah, harga saham jatuh walaupun pasar modal masih tidak sebesar hari ini. Selain karena krisis memang melanda Asia, dampak tersebut diakibatkan ketidakhati-hatian  Indonesia dalam mengelola sistem keuangan.

Sepuluh tahun sebelumnya, yakni tahun 1988, Wapres mengungkapkan, sistem keuangan Indonesia sangat liberal.

“Sangat mudah orang membuat bank di Indonesia. Dalam waktu  beberapa bulan saja, 290 bank berdiri di Indonesia. Persaingan yang tidak sehat dalam ekonomi yang terbatas menyebabkkan terjadinya masalah di sistem perbankan 10 tahun kemudian, dan terjadilah krisis itu,” kisah Wapres.

Tahun 2008, ketika krisis global terjadi, dimana perusahaan investasi terkemuka AS Lehman Brothers mengalami keruntuhan finansial, Indonesia juga terkena dampaknya.

“Karena itu yang kita harapkan adalah pengalaman-pengalaman yang terjadi harus jadi pelajaran,” tegas Wapres.

Ekonomi dunia pada dewasa ini, menurut Wapres, belum sebaik yang diharapkan. Pelemahan ekonomi di hampir semua benua masih terjadi. AS hanya tumbuh di bawah 1%, begitu juga Eropa dan Asia yang juga mengalami masalah, termasuk Indonesia.

Namun, ungkap Wapres, dari segi ukuran di Asia, Indonesia berada di tengah-tengah, yakni 5%. artinya tidak terlalu rendah tapi juga tidak terlalu tinggi. Hal ini disebabkan Indonesia memiliki potensi yang besar untuk maju. Disamping SDA yang baik, Indonesia mempunyai SDM yang kuat. Dengan penduduk 250 juta orang, negara ini bisa menjadi pasar sekaligus tempat produksi yang baik di kawasan Asia.

“Yang penting Indonesia menginginkan suatu stabilitas agar ekonominya dapat tumbuh dalam batas-batas yang baik,” ucap Wapres.

Sementara dari sisi keuangan, lanjut Wapres, Indonesia selalu menjaga agar tidak terjebak dalam defisit yang terlalu tinggi. Berbeda dibanding banyak negara lain, defisit Indonesia diatur oleh Undang-undang tidak boleh lebih dari 3% terhadap GDP (Gross Domestic Product/Produk Domestik Bruto).

“Kalau yang lalu Indonesia hanya defisit 2,5%, karena itu maka kita tidak akan terjebak seperti masa lalu dengan utang yang tinggi. Maka itu Indonesia harus menjaga stabilitas agar tercapai situasi lebih baik,” tegasnya.

Upaya lainnya dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi, selain pembangunan infrastruktur, kata Wapres, juga akan dilakukan perbaikan sistem keuangan secara nasional. Hal ini dikarenakan tingkat pencapaian sistem perbankan belum dapat dilaksanakan di seluruh Indonesia, karena Indonesia merupakan negara kepulauan yang besar. Untuk itu, keuangan inklusif merupakan program utama pemerintah dalam sistem perbankan pada tahun-tahun mendatang.

“Mudah-mudahan dapat dicapai lebih dari 90% pencapaian untuk mencapai bagian dari negeri ini. Karena sistem IT sudah lebih baik dari sebelumnya, akan digunakan untuk mencapai finansial inklusif,” harap Wapres.

“Itu bagian dari seluruh policy yang akan kami jalankan,” pungkasnya.

Sebelumnya, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Muliaman Hadad menyampaikan, sebagai anggota G20, Indonesia berkomitmen menjaga keselarasan berbagai macam aturan yang disepakati negara-negara anggota G20. Tahun ini Indonesia akan direview oleh anggota G20 dalam hal konsistensi penerapan aturan yang disepakati, dan juga akan dinilai dalam sektor finansial.

“Tentu saja kita akan berupaya bahwa Indonesia tidak terlalu jauh dengan rencana penerapan standard business practices yang berlaku secara internasional,” ujar Muliaman.

Sementara, Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardoyo mengungkapkan, tiga sumber resiko global ke depan yang perlu diwaspadai adalah, perbedaan arah (divergensi) kebijakan moneter AS dibandingkan dengan Eropa dan Jepang, berlanjutnya jatuhnya harga komoditas, serta melambatnya pertumbuhan ekonomi yang sifatnya struktural, terutama meningginya utang swasta di negara-negara emerging market.

Namun Agus berkeyakinan Indonesia akan mengalami pertumbuhan ekonomi 6% apabila dapat menjawab tiga tantangan mendasar.

“Pertama, bagaimana memperkuat ketahanan pangan dan energi, kedua, bagaimana memperkuat kehandalan daya saing industri nasional, dan ketiga, bagaimana memperkuat peran sektor keuangan sebagai basis pembiayaan ekonomi,” ujar Agus.

The 55th ACI-Financial Market Association tahun ini mengambil tema “Unity in Diversity” yang mengadopsi semboyan Indonesia Bhinneka Tunggal Ika. Acara ini dihadiri oleh 800 peserta dalam negeri, dan 250 peserta dari mancanegara. (KIP, Setwapres)