Jakarta-wapresri.go.id. Perekonomian dunia saat ini dipenuhi dengan ketidakpastian. Satu-satunya kepastian tahun depan adalah ketidakpastian. Untuk itu kekuatan dalam negeri menjadi kunci dalam menghadapi ketidakpastian ekonomi.

“Dalam kondisi ketidakpastian, kita ambil yang pasti. Yang pasti kita mempunyai jumlah penduduk yang besar, berarti pasar yang besar, potensi yang besar. Artinya apa, mari kita gunakan kekuatan dalam negeri ini, produktivitasnya yang rendah ditingkatkan, baru tingkat konsumsinya,” tegas Wapres ketika menyampaikan Keynote Speech pada acara Tempo Economic Briefing, di The Westin Hotel, Jakarta, Kamis, (27/10/2016).

Di tengah ketidakpastian ini, Wapres mengatakan, Indonesia patut bersyukur, karena tingkat pertumbuhannya masih berada di tingkat menengah, grossnya menengah, dan stabilnya lebih di atas tinggi.

“Jadi kita pada kondisi, keadaan, tidak sakit tapi juga tidak kuat berlari. (Pertumbuhan) lima persen itu berarti kita lebih tinggi daripada Singapura, Malaysia, Thailand apa lagi. Tapi kita masih lebih rendah daripada Filipina, China. Tapi kalau negara maju tidak ada yang bisa mencapai lebih dari tiga persen,” ungkap Wapres.

Lebih jauh Wapres membandingkan Indonesia yang kondisinya jauh lebih baik dari negara-negara lain, seperti Venezuela, Brazil, dan Afrika Selatan. Venezuela misalnya, dulu negara ini sangat kaya, namun sekarang jatuh miskin. Untuk membeli 2 atau 3 box tissue saja, orang harus antri dari jam 5 pagi sampai jam 11 siang, apalagi membeli kebutuhan yang lain, seperti obat-obatan. Sementara di Indonesia, kebutuhan sehari-hari dengan mudah dapat dibeli di minimarket terdekat.

“Jadi itulah suatu transformasi dari negara kaya ke miskin, akibat kesalahan kebijakan dalam mengelola sumber daya alamnya dan juga korupsi,” ucap Wapres.

Meskipun kondisi Indonesia masih lebih baik dari negara-negara lain, bukan berarti Indonesia tidak mempunya masalah. Masalah Indonesia menurut Wapres ialah bagaimana memenuhi kebutuhan masyarakat, lapangan kerja, sosial, pendidikan dan juga pertumbuhan ekonomi.

Kemudian Wapres menjelaskan mengapa Indonesia tidak semaju Malaysia, Thailand, apalagi Singapura. Menurut Wapres, ada tiga kebijakan pokok yang menyebabkan Indonesia terhalang kemajuannya. Pertama, kebijakan biaya pemulihan krisis ’98 terlalu tinggi.

“Ongkosnya bisa menjadi 600 triliun rupiah, tapi kalau dihitung dengan uang sekarang saya kira hampir 3.000 triliun rupiah. Kesalahannya ialah hanya satu, mempercayai, meng-guarantee  semua yang salah (hingga) akhirnya semua orang melakukan penggelembungan atau perampokan dari pada kebijakan yang dibuat,” jelas Wapres.

Kebijakan kedua, lanjut Wapres, terlalu memboroskan sumber daya alam. Dalam sepuluh tahun, subsidi BBM hampir 1.500 triliun. Hal ini seperti yang terjadi dengan Venezuela, yang memberikan subsidi sangat besar kepada rakyatnya, menyebabkan negara tersebut jatuh miskin.

“Waktu saya ada di Kabinet (sekarang ini) Alhamdulillah kita naik harga BBM tiga kali, kita keras,” tegas Wapres.

Kebijakan ketiga, Wapres menambahkan, Indonesia keliru dalam menata pemerintahan dari sentralistik ke otonomi, sehingga birokrasi di negara ini tidak dikelola dengan efisien.

“Ongkos birokrasi hari ini itu tujuh kali lipat dibandingkan sepuluh tahun lalu. Sekarang, biaya pegawai 720 triliun, padahal (tahun) 2010 itu masih 70 (triliun)an. Tinggi sekali. Akibat tiga hal ini, maka terjadilah pergeseran belanja, dari dulu waktu jaman orde lama 50 persen biaya pembangunan, sekarang belanja modal dan barang itu tidak lebih daripada 50 persen. Modalnya hanya kurang lebih 9 persen. Karena belanja modal dan baranglah sebenarnya bisa mendorong pertumbuhan,” papar Wapres.

Oleh karena itu, Wapres mengimbau, hendaknya ada perbaikan dari ketiga kebijakan yang menghambat kemajuan di Indonesia, yaitu, jika ada bank yang gagal harus ditanggung pemegang saham, subsidi BBM diturunkan, dan juga birokrasi harus lebih efisien.

Wapres mengungkapkan, adanya subsidi BBM dan tingginya biaya birokrasi mengakibatkan negara berutang. Sehingga, 20 persen dari APBN untuk membayar cicilan utang. Hal ini menyebabkan APBN tidak mampu untuk mendorong ekonomi, terutama dari sektor pembangunan.

“Maka solusinya ialah semua harus berhemat. Gubernur diperintahkan harus mengurangi biaya yang tertuju pada lebih banyak pelayanan internal birokrasi. Tetapi (biaya) yang naik ialah subsidi masyarakat. Biaya Kesehatan bebas, BPJS kesehatan, pendidikan gratis, dan sebagainya. Itu juga menjadi bagian untuk menutup gap keadilan, tapi di lain pihak tentu mengurangi anggaran untuk pembangunan. Tapi ini untuk menjaga keadilan,” jelas Wapres.

Dengan kondisi seperti ini, Wapres menekankan, agar investasi dibuka seluas-luasnya. Menurut Wapres, ada 4 hal yang menyebabkan investasi dalam negeri terhalang. Pertama, modal yang tinggi, karena bunga dari pinjaman yang ditawarkan bank terlalu tinggi. Untuk itu, bunga harus diturunkan menjadi di bawah 10 persen. Maka, bunga deposito juga harus diturunkan terlebih dahulu, tidak boleh lebih dari 5 persen.

“Bank harus lebih efisien dan pemerintah harus mempelopori itu, dan itu sudah dijalankan, tidak boleh lagi uang pemda ditawarkan kiri kanan, siapa yang kasih bunga tinggi. Tidak boleh lagi dana-dana Taspen, dana-dana BPJS, dana-dana asuransi macam-macam lebih daripada 5 persen untuk tahun depan. Dan itu akan menyebabkan bunga akan turun,” tegas Wapres.

“Target kita tahun depan adalah 7 persen. Kenapa 7 persen? Karena itu dari sisi bunga umumnya Thailand. Jadi kita tidak boleh lebih tinggi daripada Thailand. Kita ambil banchmark dari Thailand, supaya tingkat persaingan kita di tempat yang sama, di tarif yang sama,” lanjutnya.

Faktor yang kedua, Wapres menuturkan, adalah biaya logistik yang tidak efisien. Dengan kondisi negara Indonesia yang merupakan negara kepulauan, apabila tidak dikelola dengan baik, maka biaya logistik akan menjadi mahal. Untuk itu pemerintah berupaya membangun pelabuhan di mana-mana agar transportasi laut lebih lancar, atau yang dikenal dengan istilah tol laut, untuk mengefisiensikan dwelling time.

“Ini memang menjadi perhatian, dwelling time. Kenapa orang semua mikir dwelling time itu, ini untuk mengefisienkan dan membuat adil. Kalau angkutan laut itu berjalan sesuai apa yang ada, maka timbul ketidak adilan yang besar, barang-barang dari Timur apakah itu kopi, coklat, beras itu sampai di Jakarta dengan harga pasar di Jakarta. Jadi dipotong ongkos angkut, kalau ongkos angkut tinggi, maka pendapatan petani rendah. Barang-barang kebutuhan industri di Jawa selalu ditambah ongkos angkut untuk dikirim ke Timur. Kalau ongkos angkut mahal maka penduduk masyarakat di Timur mendapatkan hasil lebih kecil, membayar lebih besar,” papar Wapres.

Faktor penghambat lainnya, adalah masalah energi. Wapres mengungkapkan, kebutuhan energi di seluruh Indonesia masih sangat tinggi.

“Makanya harus ditambah terus sampai ada program 35.000 Megawatt. Tentu ada saja halangannya pasti. Kita selalu berusaha hadapi halangan itu agar bisa tercapai, dan lima tahun lagi 35.000 lagi,” harap Wapres.

Faktor terakhir, masalah birokrasi. Untuk mendapatkan izin investasi, Wapres mengatakan, diperlukan banyak paraf, yang menyebabkan ketidakefisienan. Oleh karena itu, pemerintah berupaya untuk membuat birokrasi lebih efisien, dalam hal ini pengurangan eselonisasi.

“Kita ingin dalam delapan tahun birokrasi kita berkurang, hanya akan menjadi kurang lebih 3,5 juta orang,” tutur Wapres.

Agar investasi berjalan lancar, Wapres menekankan, diperlukan perbaikan, baik perbaikan sistem dengan melakukan tax reform, perbaikan IT, maupun perbaikan pengelolaan, yakni dengan melibatkan peran swasta.

Selain itu, lanjut Wapres, produktivitas juga ditingkatkan khususnya dalam sektor pertanian.  Produktivitas pertanian harus dinaikkan, agar impor seperti beras dan gula tidak berlangsung secara permanen.

“Karena siapapun yang memproduksi beras dengan sistem sekarang, petani beras kita tidak akan pernah makmur. Sejelek apapun industri itu, UMR-nya sekitar 2 juta. Pendapatan petani perbulan rata-rata kalau dia punya satu hektar sawah itu hanya 1 juta perbulan. Jadi produktivitasnya harus diperbaiki,” tegas Wapres.

Dengan potensi yang dimiliki Indonesia, Wapres berharap, menjadi kekuatan dalam meningkatkan pertumbuhan, terutama di tengah ketidakpastian, baik yang terjadi saat ini maupun yang akan datang.

“Yang pasti dalam tahun akan datang adalah ketidakpastian, maka dalam negeri kita ingin lebih banyak harapan untuk hal tersebut. Karena kita berada di posisi tengah, bukan yang rendah, bukan juga yang tinggi. Jadi ada peluang untuk naik lebih tinggi,” pungkas Wapres.

Senada dengan Wapres, sebelumnya Direktur Utama PT Tempo Inti Media Tbk Bambang juga menyampaikan ekononomi dunia penuh ketidakpastian. Oleh karena itu, Tempo menyelenggakan Economic Briefing yang mengambil tema “Mencari Penggerak Baru Pertumbuhan Ekonomi 2017, untuk memetakan kondisi ekonomi Indonesia.

“Harapannya agar pengusaha bisa mengantisipasi,” ujar Bambang.

Hadir mendampingi Wapres, Deputi Bidang Dukungan Kebijakan Pembangunan Manusia dan Pemerataan Pembangunan Tirta Hidayat, Staf Khusus Bidang Ekonomi Wijayanto Sarmin, Staf Khusus Bidang Penanggulangan Kemiskinan dan Otonomi Daerah Syahrul Ujud, dan Staf Khusus Bidang Komunikasi dan Informasi Husein Abdulah. (KIP, Setwapres)