Jakarta-wapresri.go.id Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla menerima rombongan dari Hartford Seminary yang dipimpin oleh President Hartford Seminary yang juga Guru Besar Ilmu Etika Sosial Heidi Hadsell, di Kantor Wapres, Merdeka Utara, Jakarta, Senin, (17/10/2016). Hadsell didampingi oleh Director Executive Hartford Seminary Heather Holda, Pastor Gereja dan Aktivis Masyarakat Karen Bailey Francois, Pastor Gereja Pertama di Redding Dean Ahlberg dan istrinya Jennifer Ahlberg, Guru Besar Ilmu Al-Qur’an dari Hartford Seminary Feryal Salem, serta Doktor Muslim Dr. Ali Shakibai yang juga datang bersama isterinya Shakibai.
Kedatangan Hadsell dan rombongan yang didampingi oleh Pengurus Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) untuk mempelajari toleransi beragama di Indonesia, sekaligus mendapatkan pengalaman langsung dari Wapres yang memang sudah dikenal sebagai tokoh yang concern dengan isu perdamaian dan konflik-konflik terkait agama.
Wapres menyambut baik dan berharap diskusi antar keyakinan beragama (interfaith dialogue) ini dapat bermanfaat bagi Indonesia dan negara lain.
“Indonesia merupakan contoh nyata bagaimana kehidupan umat Islam dan agama lain dapat hidup berdampingan di sini,” ujar Wapres.
Lebih lanjut Wapres menyatakan bahwa sistem atau filosofi masyarakat Indonesia yang diwariskan oleh pendiri bangsa merupakan alasan untuk berbangga dengan kondisi Indonesia saat ini dimana umat Islam moderat dapat tumbuh diantara keberagaman (pluralism).
“Berbeda dengan masuknya Islam di negara lain, dalam sejarah, Islam masuk ke Indonesia melalui perdagangan, dimana dibutuhkan kompromi, tidak pragmatis,” jelas Wapres.
Hal ini, menurut Wapres, menjadikan kondisi umat beragama di Indonesia berbeda dengan negara lain di dunia yang juga bermayoritas agama Islam.
Wapres lalu mencontohkan bentuk kerukunan beragama dengan adanya simbol-simbol agama lain selain Islam yang juga dikenal di seluruh dunia.
“Rakyat Indonesia mayoritas adalah Islam, namun tetap yang dikenal adalah Bali yang mayoritas adalah Hindu dan Borobudur yang merupakan simbol agama Buddha,” ungkapnya.
Wapres mengakui, pembahasan mengenai agama memang kadang dapat bernuansa politik, seperti yang terjadi saat menjelang pemilihan kepala daerah baik di Indonesia maupun negara lain, sehingga hal itu harus disikapi dan disadari bahwa itu adalah pertarungan politik, bukan perang antar agama.
“Yang terjadi adalah masalah bagaimana mengungkapkan pandangannya, jangan sampai membuat emosi para penganut agama lain,” tegas Wapres.
Dalam kehidupan bernegara pun, Wapres menambahkan, Indonesia banyak menyinggung masalah perbedaan agama, misalnya dalam susunan menteri kabinet terdiri dari beragam agama, Islam, Nasrani, Hindu, dan Budha. Hal ini menunjukkan bahwa pemerintah juga memberikan persamaan hak bagi pemeluk agama lain untuk berada di dalam pemerintahan.
Wapres mencermati, konflik yang terjadi di Indonesia sering dibesar-besarkan disebabkan oleh konflik konflik antar umat beragama, padahal sebenarnya penyebabnya adalah konflik politik, seperti konflik yang terjadi di Ambon.
“Konflik Ambon yang terjadi 15 tahun yang lalu dimulai dari gejolak demokrasi dan politik, bukan masalah agama,” jelas Wapres.
Begitu juga di daerah lain seperti Aceh, lanjut Wapres, bukan terjadi karena konflik agama tetapi adanya ketidakadilan dalam ekonomi, pemerataan kemakmuran, dimana sumber daya alam yang kaya tidak dinikmati oleh sebagian besar warga Aceh dan pembangunan yang terjadi di Aceh lebih sedikit dari pulau Jawa.
Masalah lain yang sering dikaitkan dengan agama Islam adalah terorisme. Terorisme, menurut Wapres sebenarnya adalah anak muda yang sedang marah, karena tidak ada masa depan, akibat dari kegagalan suatu negara. Kemudian, diikuti dengan ajaran yang mengimingi para pengikutnya untuk melakukan aksi bunuh diri dan memberontak dengan imbalan akan masuk surga. Sehingga, para pemuda yang marah tersebut, tidak takut untuk melakukan bom bunuh diri dan melakukan tindakan radikal lainnya.
Mengakhiri sambutannya, Wapres berharap dialog antar umat beragama ini dapat menjadi lesson learnt bagi kedua negara untuk dapat terus meningkatkan kerukunan antar umat beragama.
“Indonesia mungkin belum sepenuhnya merupakan contoh terbaik sebagai negara yang memiliki kerukunan hidup beragama, namun banyak kejadian atau peristiwa serta praktik-praktik kehidupan antar umat beragama yang dapat menjadi simbol kerukunan hidup umat beragama dan kami berusaha untuk terus menjaganya,” pungkas Wapres.
Dalam kesempatan itu, Wapres juga berdialog dengan para delegasi dari Hartford Seminary dan Pengurus ICMI Pusat yang dipandu oleh Ketua Umum ICMI Jimly Asshiddiqie.
“ICMI berniat untuk terus mengembangkan kerja sama dengan Hartford Seminary untuk bertukar pikiran dan berdialog lintas agama dan keyakinan dalam memperkuat kerukunan antar umat beragama,” ujar Jimly.
Harford seminary merupakan sekolah yang mempelajari agama-agama seperti Islam dan Nasrani. Selain training dan beasiswa yang diberikan kepada siswanya sekolah ini juga menyelenggarakan dialog antar agama. Menurut Hadsell, Indonesia dinilai mampu menggambarkan keharmonisan kehidupan muslim mayoritas yang dapat berdampingan dengan agama lain yang minoritas.
“Sekolah ini mengajarkan ilmu agama Islam, Nasrani dan hubungan yang baik antara kedua agama. Indonesia adalah contoh terbaik yang menggambarkan hubungan damai antara mayoritas dan minoritas,” ungkap Hadsell.
Selain bertukar pikiran antara para anggotanya, Hartford Seminary juga mengumpulkan informasi dari para akademisi dari universitas di Indonesia untuk pengembangan hubungan antar agama dimana diyakini bahwa kerukunan antar umat beragama sangat penting dalam setiap lini kehidupan.
“Kami datang ke Indonesia untuk mencari masukan dan inspirasi karena menghormati bentuk kerukunan antar umat beragama di Indonesia,” pungkas Hadsell.
Didirikan sekitar 185 tahun yang lalu oleh orang-orang Protestan, Hartford Seminary kemudian juga menjadi organisasi yang terdiri dari pemuka agama Islam, dan merupakan Universitas pertama di Amerika Serikat yang mengajarkan bahasa Arab serta mengembangkan pemikiran-pemikiran yang berhubungan dengan hubungan antara Muslim dan Nasrani. Selain program doktoral dan magister dalam bidang studi agama Islam, sekolah ini juga mendidik untuk menyiapkan para pemimpin muda untuk bekerja di rumah sakit, penjara-penjara, atau kampus untuk menciptakan suatu lapangan pekerjaan baru di bidang profesional bagi para pemuda muslim.
Dialog ini juga dihadiri Utusan Khusus Presiden untuk Timur Tengah Alwi Sihab, Wakil Ketua Umum DPD Farouk Muhammad, Sekjen ICMI Jafar Hafsah, dan Wakil Ketua ICMI Priyo Budi Santoso. (KIP, Setwapres)