kakao kendari

Kendari. Kokoa merupakan salah satu komoditi andalan Sulawesi.  Agar produksinya dapat meningkat, dibutuhkan konsistensi pemerintah daerah untuk membina para petani perkebunan kakao. “Tekad yang kuat dari pemerintah daerah penting untuk tingkatkan produksi kokoa di Sulawesi,” tegas Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla mengingatkan para kepala daerah di seluruh provinsi di Sulawesi pada Rapat Pengembangan Perkebunan Kakao, di Rumah Jabatan Gubernur Sulawesi Tenggara, Kendari, Minggu 20 Desember 2015.

Wapres yang didampingi Menteri Pertanian Amran Sulaiman dan Menteri Perindustrian menambahkan, pembinaan dapat dilakukan antara lain, memperbanyak pendampingan petani dengan menambah penyuluh dan pembina pertanian, memberdayakan mahasiswa fakultas pertanian di universitas di Sulawesi dengan program Kuliah Kerja Nyata (KKN) agar langsung terjun dan memberikan ilmu nyatanya kepada petani kakao. Dalam hal keuangan, lanjut Wapres, perlunya menyediakan Kredit Usaha Rakyat (KUR) untuk membantu petani mendapatkan pinjaman pengolahan perkebunan, serta membantu petani agar harga kakao stabil.

Sebelumnya, Menteri Pertanian Amran Sulaiman memberikan pemaparan hasil program Pengembangan Kakao Berkelanjutan yang telah dilaksanakan sejak Tahun 2014 dan merupakan lanjutan Gerakan Nasional Peningkatan Produksi dan Mutu Kakao (Gernas Kakao) Tahun 2008. Indonesia yang merupakan produsen kakao ketiga terbesar di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana, tersebar di 1,7 juta Hektare yang tersebar di beberapa daerah di Indonesia, dengan hasil 700 ribu ton per tahun dengan produktivitas 800 ribu ton dan area produktif hanya sekitar 800 ribu H. Untuk itu diperlukan adanya rehabilitasi dan replanting (penanaman baru). Komoditi kakao di Indonesia memiliki peranan strategis terutama sejak dicanangkannya Gerakan Nasional Peningkatan Produksi dan Mutu Kakao (Gernas Kakao) Tahun 2009.

“Gernas Kakao sejak 2009 – 2013 yang dilakukan adalah intensifikasi, ini yang harus kita perkuat selain rehabilitasi dan peremajaan, ketiganya yang bisa meningkatkan produksi dengan harapan pada tiga tahun ke depan mencapai target menjadi penghasil nomor satu kakao se-dunia,” papar Amran.

Amran juga menjelaskan komoditi kakao dibanding dengan perkebunan sawit jauh lebih menguntungkan karena merupakan gerakan rakyat. Perkebunan sawit umumnya 50% dikuasai oleh perusahaan besar, sisanya perusahaan plasma. Sedangkan perkebunan kakao didominasi oleh rakyat.  Amran berharap petani kakao mendapatkan dukungan dana dari pemerintah agar langsung dapat dinikmati oleh rakyat.

Sedangkan Menteri Perindustrian Saleh Husein memaparkan sejak diberlakukannya bea keluar pada lima tahun akhir, hilirisasi produksi kakao sangat berkembang pesat. Akibatnya Indonesia kekurangan biji kakao hingga harus mengekspor, selain itu mutu yang dihasilkan petani kakao masih sangat rendah, untuk itu Menteri Perindustrian berharap dapat menjalin kerja sama dengan menteri Pertanian agar petani kakao dapat meningkatkan pengetahuannya untuk menghasilkan mutu biji kakao yang terbaik untuk produksi.

“Disamping itu juga pada industri-industri kakao di lapangan lebih banyak membutuhkan biji kakao yang telah difermentasi, dan petani kakao enggan untuk memfermentasi biji kakao tersebut karena harga asal dengan harga setelah fermentasi tidak jauh berbeda sedangkan mereka membutuhkan cost untuk memfermentasi,” papar Saleh.

Dalam kesempatan itu, Wapres menekankan beberapa harapan dan arahan guna peningkatan produksi kakao di Sulawesi dan daerah penghasil kakao di seluruh Indonesia. “Pertama, kita buat suatu tekad, untuk menjadi nomor satu di dunia, setuju ya?,” ajak Wapres yang disambut teriakan setuju dan tepuk tangan peserta rapat yang hadir.

Menurut Wapres, jalan keluarnya adalah dengan menaikkan produksi, jumlah  dan kualitas. “Bagaimana meningkatkan bibitnya, pupuknya dan lainnya harus diformulasikan, begitu juga kualitas fermentasi atau tidak, dan perbedaan harga [yang pantas], hal ini dapat dibandingkan dengan negara penghasil kakao terbesar seperti Pantai Gading dan Ghana,” jelas Wapres.

Sedangkan untuk dukungan dana, pimpinan daerah perlu berkoordinasi dengan bank pemerintah dengan sasaran petani kecil di daerah untuk mengetahui bagaimana penyalurannya, penjaminannya, serta polanya untuk mendorong petani. Wapres sekali lagi menekankan agar para petani, dan perguruan tinggi saling bertukar informasi untuk meningkatkan produksi kakao, sementara pemda harus membangun balai-balai pelatihan. Wapres mengingatkan petani dan pimpinan daerah untuk tidak khawatir dengan pasar, karena pasar dunia cenderung menurun.

“Hingga dalam waktu lima tahun dapat mencapai target menjadi penghasil kakao nomor satu di dunia, atau tiga tahun menjadi nomor dua. Untuk itu Indonesia harus mencapai target produksi rata-rata 1,7 ton per hektar per tahun,” ujar Wapres bersemangat.

Rapat Pengembangan Kakao berkelanjutan ini ditutup dengan apresiasi Wapres kepada pemerintah Sulawesi yang kini menjadikan coklat sebagai salah satu buah tangan favorit pengunjung daerah tersebut. Namun, Wapres menekankan yang harus pemerintah pusat dan daerah fokuskan adalah peningkatan produksi terutama pabriknya, karena khas daerah berupa coklat merupakan optimalisasi dalam promosi.

Sebelum menggelar rapat, dalam kunjungannya ke Sulawesi Tenggara Wapres Jusuf Kalla meluangkan waktunya untuk berdialog bersama petani kakao dan langsung meninjau perkebunan untuk mengetahui langsung kondisi dan mendengarkan permasalahan para petani. (Gita Savitri)