Jakarta-wapresri.go.id Di era modern ini, praktek perbudakan masih terjadi. Karena desakan ekonomi, politik, maupun sosial, banyak orang terpaksa bekerja secara tidak layak. Hal ini tentu saja melanggar hak asasi mereka. Untuk itu harus dilawan dan dihentikan bersama-sama.
“Perbudakan kuno, orang diperjualbelikan, dipaksa, dirantai, kerja tanpa gaji. Dalam dunia modern ini, suatu situasi dimana banyak orang apakah laki-laki, perempuan, anak-anak ataupun orang dewasa yang dipaksa bekerja dengan tekanan, termasuk karena keterpaksaan ekonomi, politik, ataupun sosial, sehingga tentu melanggar hak-hak asasinya. Oleh karena itu, kita harus sama-sama melawan dan menghentikannya,” tegas Wakil Presiden (Wapres) Jusuf Kalla pada acara Penandatanganan Piagam Deklarasi Menghapus Perbudakan Modern oleh Para Tokoh Lintas Agama di Indonesia, di Istana Wakil Presiden, Merdeka Selatan, Jakarta, Selasa (14/03/2017).
Menurut Wapres, salah satu penyebab perbudakan modern adalah kemiskinan. Untuk itu, upaya menghapus perbudakan modern ini tidak cukup hanya sampai pada penandatanganan deklarasi. Namun, seluruh komponen masyarakat harus bersatu bahu-membahu membangun negara agar tercipta pertumbuhan ekonomi yang lebih baik yang dapat memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk memperoleh pekerjaan yang layak.
Wapres mengungkapkan, sesungguhnya sudah cukup banyak upaya pemerintah dalam memenuhi kehidupan layak bagi masyarakat melalui program-program perlindungan sosial. Tidak hanya pemberian bantuan pangan dan layanan kesehatan pada masyarakat secara gratis, tetapi juga dengan menetapkan berbagai aturan tentang ketenagakerjaan, agar masyarakat dapat bekerja dengan layak.
“Pemerintah telah banyak memiliki aturan-aturan yang menghendaki pekerjaan yang layak, mulai aturan kerja, ada batas maksimum jam kerja, minimum gaji, suasana kerja, ada batas umur untuk menghentikan [perbudakan modern] dengan aturan,” jelas Wapres.
Namun, Wapres mencermati, upaya melalui berbagai peraturan tidaklah cukup, karena masih terjadi praktek-praktek seperti “human trafficking”, dan anak-anak yang terpaksa meninggalkan bangku sekolah untuk bekerja memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga.
Oleh karena itu, Wapres menekankan, perlu pendekatan moral untuk menghilangkan perbudakan modern dari muka bumi. Di sinilah peran para pemuka agama dalam menghapus perbudakan modern.
“Pada hari ini, apa, kenapa yang terhormat para pemuka agama menandatangani ini sebagai komitmen secara moral agama, agar dapat dicegah khususnya kepada yang memperbudak. Ini [perbudakan] terjadi karena ada yang memperbudak,” ungkapnya.
Mengakhiri sambutannya, Wapres menekankan kembali pentingnya negara bersatu untuk menyelesaikan masalah serta melakukan langkah kongrit dalam upaya menghapuskan permudakan modern.
“Disamping deklarasi, kita harus membangun negara dengan sebaik-baiknya. Pertumbuhan ekonomi apabila terjadi akan memberikan kesempatan [bagi masyarakat] untuk dapat bekerja [secara layak],” pungkasnya.
Sebelumnya, Rektor Paramadina Prof. Firmansyah, dalam pidatonya menyampaikan bahwa upaya penghapusan perbudakan modern merupakan salah satu Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDG) yang sesungguhnya sudah menjadi tujuan berdirinya bangsa Indonesia yang tertuang di dalam Konstitusi Dasar Negara Indonesia.
“Melawan segala bentuk perbudakan modern bukan hanya dalam rangka menjunjung salah satu target Sustainable Development Goals (SDG) yaitu ‘penghapusan perbudakan modern’. Terlebih karena melawan segala bentuk perbudakan modern adalah mandat konstitusi Indonesia. Dalam pembukaan UUD 1945 jelas disebutkan bahwa ‘kemerdekaan itu ialah hal segala bangsa, oleh sebab itu maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan perikeadilan,” jelas Firmanzah.
Sementara, Ketua Global Freedom Network Andrew Forrest, yang juga seorang filantropis berkebangsaan Australia, dalam sambutannya mengungkapkan apreasiasi kepada para pemuka agama di Indonesia yang turut berkomitmen melawan praktek-praktek yang melanggar hak asasi manusia ini.
“Saya merasa terhormat para pemuka agama di Indonesia telah berkumpul bersama untuk merayakan nilai-nilai yang mempersatukan kita. Yaitu cinta yang sama akan kemanusiaan dan keyakinan yang sama bahwa kebebasan mengeksploitasi manusia lain adalah tindakan yang tidak beradab,” ujar Forrest.
Disamping itu, ia juga menyampaikan ucapan terima kasih atas dukungan yang diberikan Wapres dan Universitas Paramadina dalam mewujudkan upaya menghapus perbudakan modern.
“Saya sangat berterima kasih atas dukungan yang diberikan oleh Wakil Presiden Republik Indonesia dan Universitas Paramadina, dan menyambut baik keberanian dan keyakinan mereka dalam bekerja sama dalam mengakhiri perbudakan modern yang sangat mengerikan ini,” kata Forrest.
Mewakili generasi muda, Maudy Ayunda yang ditunjuk sebagai Duta Anti Perbudakan Modern menyampaikan keprihatinannya terhadap praktek perbudakan yang masih terjadi saat ini.
“Di tengah-tengah situasi kebebasan hari ini dimana kita dapat menjalani hidup seperti apa yang kita inginkan, masih banyak orang bahkan anak muda dan anak kecil dalam kondisi diperbudak. Saat ini lebih dari 45 juta orang masih dalam perbudakan modern, termasuk di Indonesia. Hal ini berarti mereka terpaksa melakukan sesuatu yang tidak mereka inginkan. Mereka tidak bisa melakukan hal-hal kecil, apalagi mulai memikirkan melakukan hal-hal yang besar. Saya merasa memiliki obligasi untuk berbicara dan menjadi bagian dari gerakan ini,” ujar Maudy.
Kegiatan penandatangan deklarasi menghapus perbudakan modern ini merupakan kerjasama antara Universitas Paramadina dan Global Freedom Network (GFN), sebuah organisasi nirlaba yang bertujuan memberdayakan para pemuka lintas agama agar memobilisasi kekuatannya melawan perbudakan modern.
Unsur pemuka agama yang turut serta menandatangani deklarasi ini adalah mewakili Majelis Ulama Indonesia KH. Muhyidin Junaidi, mewakili Pengurus Besar Nahdlatul Ulama KH. Marsudi Syuhud, mewakili Pengurus Pusat Muhammadyah Wahyu Ridwan, Ketua Umum Persekutuan Gereja Indonesia Pdt. Henriette Hutabarat Lebang, mewakili Konferensi Wali Gereja Seluruh Indonesia Uskup Agung Jakarta Mgr Ignatius Suharyo, Ketua Umum Parisada Hindu Dharma Indonesia Mayjen TNI (Purn) Wisnu Bawa Tenaya, Perwakilan Wali Buddha Indonesia Banthe Victor Jaya Kusuma, dan Ketua Umum Majelis Tinggi Agama Khonghucu Uung Sendana Linggaraja.
Hadir dalam kesempatan tersebut Menteri Komunikasi dan Informasi Rudiantara, Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi Eko Putro Sandjojo, serta para duta besar negara-negara sahabat. (KIP, Setwapres)